Kekuatan Hukum Organisasi ASEAN Lemah

| Senin, 12 April 2010
berita diambil dari situs www.hukumonline.com

  Tanpa ada mekanisme penyelesaian institusional yang jelas, ASEAN tidak mempunyai posisi tawar yang bagus di mata internasional. Hubungan bilateral di bidang hukum pun tidak selalu berjalan mulus.
Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS), Edy Prasetyono mengatakan ASEAN sulit mempunyai kekuatan hukum atau legal standing yang kuat di mata internasional. Di PBB, negara-negara ASEAN masih dipandang secara parsial. PBB dan lembaga internasional lainnya kecenderungannya tidak memandang ASEAN secara organisasi.

  “Lembaga internasional cenderung memandang negara-negara ASEAN secara terpisah, bukan secara institusi kumpulan negara kawasan. Itu akan berimplikasi pada hubungan diplomatik secara hukum,” ujarnya saat ditemui dalam acara ”Diskusi Pergolakan Demokrasi di Asia Tenggara: Aspek Politik, Keamanan dan Diplomasi”, dan Peluncuran Buku Dewi Fortuna Anwar ”Indonesia at Large”.
   Lebih lanjut Edy mengatakan, ASEAN –yang Agustus tahun depan memasuki usia yang ke-40 didirikan — hanya menggunakan Deklarasi Bangkok tahun 1967. Deklarasi menurut Edy, statusnya tidak mengikat. Sehingga itu menjadikan negara-negara ASEAN dalam hukum internasional tidak mempunyai satu suara, hanya dipandang secara parsial, kecuali untuk kasus-kasus yang sifatnya politis seperti kasus Kamboja. Posisi negara-negara di kawasan ASEAN pada saat itu bersama-sama mencari strategi menyingkirkan Vietnam Utara lawan dari Vietnam.
 ”Tapi penyerangan (Vietnam–maksudnya) itu secara hukum tidak dianggap hasil kumpulan kerja sama ASEAN, tapi lebih secara individual negara yang secara kebetulan berbarengan menyerang,” ujarnya. Kepala Deputi Ilmu Sosial dan Humanitas Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dewi Fortuna Anwar, yang berbicara dalam acara yang sama mengatakan bahwa perjanjian bilateral memegang peranan yang penting, akan tetapi menurut Dewi akan jauh lebih penting menyiapkan mekanisme menghadapi lingkungan internasional.
 ”Menurut saya, secara organisasi Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) dan World Trade Organization (WTO) lebih berkembang dibandingkan ASEAN,” ungkap Dewi yang mengatakan bahwa ASEAN saat ini sudah diluar jalur visi dan misi yang disepakati sebagai organisasi negara kawasan.
”Kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan faktor leadership dan komunikasi interpersonal pemimpin negara. Kita harus mengganti mekanisme institusional, yang sayangnya sampai sekarang ASEAN belum punya,” sambung Edy yang menjelaskan bahwa selama ini kebanyakan yang terjadi adalah persoalan bilateral antara anggota ASEAN sendiri.
  Mekanisme institusional itu nantinya akan mengatur hak dan kewajiban masing-masing anggotanya, termasuk siapa saja personel yang berperan dalam perundingan internasional dan juga akan menentukan jumlah batasan suara yang disetujui untuk memutus perkara. Ketika mekanisme semacam itu tidak ada maka ASEAN tidak dapat membuat kesepakatan dengan kekuatan hukum yang kuat dan akan membuat pihak asing menjadi ragu, karena tidak ada jaminan penyelesaian hukum yang jelas. Apalagi ketik
 ”Kalau ASEAN mampu menunjukkan hal-hal semacam itu, pasti bargaining power-nya, tinggi dan negara lain mau menjalin kerja sama dengan ASEAN sebagai suatu entitas,” ujarnya.
Edy kemudian mencontohkan seperti di negara kawasan Uni Eropa untuk masalah keamanan mereka menggunakan sistem konsensus. Akan tetapi bila menyangkut hal-hal ekonomi dan finansial maka ada yang namanya diskusi di tingkat Federal yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pemerintahan nasional.
RUU ASEAN Charter memang sedang digodoki. ”Tapi saya pesimis dengan ASEAN Charter, karena biasanya tidak banyak perjanjian tertulis yang dibuat oleh ASEAN,” cetus Dewi.
  Edy berharap RUU tersebut bisa selesai secapatnya. Namun itu bergantung pada kesepakatan diantara negara anggota ASEAN sendiri. ”Draf ASEAN Charter itu harus dipikirkan sematang mungkin. Lebih baik target timing–nya mundur, daripada tidak membawa implikasi yang lebih baik bagi kelangsungan ASEAN di mata internasional,” cetusnya.
Mutual Legal Assistance
  Mekanisme institusional seperti itulah yang juga bisa dijadikan acuan bila ada persoalan bilateral antar negara ASEAN sendiri. Hal ini misalnya seperti pemindahan tahanan antar negara yang dialami oleh Indonesia-Singapura. Dengan negara-negara ASEAN, Indonesia sudah menandatangani ASEAN Mutual Legal Assistance (MLA) sejak dua tahun lalu. Tetapi jika Pemerintah juga menginginkan orang-orang Indonesia yang dihukum di luar negeri dikembalikan ke sini, perjanjian ekstradisi dan MLA saja tidak cukup.
  Dengan kata lain, meskipun ada kerangka MLA di tingkat regional, bukan berarti secara bilateral dua negara ASEAN mudah diimplementasikan. Tengok saja proses penyusunan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura yang tersendat-sendat. Indonesia menginginkan perjanjian ekstradisi itu karena beberapa orang yang bermasalah secara hukum di Indonesia kabur ke negara Singa tersebut.

0 komentar:

Posting Komentar

Next Prev
▲Top▲